Pertempuran Laut Jawa

Tahun baru 1942. Perang telah mencapai pintu Asia Tenggara. Mesin-mesin perang Kekaisaran Jepang meluncur bagai petir ke selatan. Target utama mereka adalah Hindia-Belanda, sebuah kepulauan subur gemah ripah loh jinawi yang memiliki sumber daya alam berkelimpahan.

Embargo oleh Amerika Serikat, yang disebabkan oleh invasi Jepang ke China, cukup mencekik Jepang. Suplai minyak mereka hilang sebanyak 93%. Belum lagi impor besi-besi tua, mineral, dll yang terhenti. Cadangan minyak strategis Jepang hanya tersisa untuk Satu setengah tahun, itupun harus dibagi untuk kebutuhan militer dan sipil. Dihadapkan dengan pilihan mundur dari China atau mencari sendiri sumber minyak baru, Jepang memilih opsi yang kedua.

Serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor mengawali langkah Jepang mencari lahan sumber daya baru. Selain melumpuhkan Armada Pasifik Amerika Serikat, Jepang juga menenggelamkan 2 battleship Inggris, HMS Prince of Wales dan HMS Repulse di lepas pantai Malaya. Filipina, Thailand, Indocina pun jatuh secara cepat.

11 Januari 1942, Jepang menduduki teritori Hindia-Belanda mereka yang pertama : Tarakan. 4 hari kemudian, pihak sekutu membentuk suatu komando gabungan yang bernama American British Dutch Australian Command (ABDACOM) dengan Panglima adalah Marsekal Medan Sir Archibald Wavell. Meskipun telah berada dalam satu komando, mereka sama sekali tidak mempunyai misi dan prioritas yang sama. Inggris ingin mempertahankan Singapura mati-matian, Belanda ingin menempatkan pertahanan utama di Sumatera dan Jawa, Amerika Serikat dan Australia tidak mau terlibat total di Asia Tenggara, sehingga mereka bisa menyimpan pasukan untuk melakukan serangan balik pada Jepang.

Selain perbedaan itu, ABDACOM juga kalah jumlah, kalah teknologi, dan kalah mental. Armada Gabungan ABDACOM sama sekali tidak mampu memperlambat apalagi menghentikan gerak laju Jepang. Pada pertengahan Februari 1942, Singapura jatuh. Sumatra, Borneo dan Celebes sudah didarati oleh Jepang. Wavell mengundurkan diri dari jabatan Panglima ABDACOM. Jepang juga melakukan serangan udara ke Darwin, Australia dan menyebabkan pelabuhan tersebut tidak dapat difungsikan untuk mendukung logistik sekutu di Hindia Belanda.

Nasib Jawa telah berada diujung tanduk. Pada akhir Februari, armada Jepang berkumpul untuk mendarat di Jawa. Laksamana Muda Karel Doorman, Panglima Armada Pemukul ABDACOM, melayarkan armadanya pada tanggal 27 Februari 1942 untuk mencegat konvoi pasukan pendarat Jepang yang mendekat dari Selat Makassar. Doorman berkedudukan di penjelajah ringan HNMLS De Ruyter, dan bersamanya berlayar 2 penjelajah ringan yang lain (HNMLS Java dan HMAS Perth), 2 penjelajah berat (USS Houston dan HMS Exeter), dan 9 perusak (HMS Electra, HMS Encounter, HMS Jupiter, HNLMS Kortenaer, HNLMS Witte de With, USS Alden, USS John D. Edwards, USS John D. Ford, dan USS Paul Jones).

Konvoi pasukan pendarat Jepang dilindungi oleh suatu gugus tugas yang terdiri dari  2 penjelajah berat (Nachi and Haguro), 2 penjelajah ringan (Naka and Jintsū) dan 14 perusak (Yūdachi, Samidare, Murasame, Harusame, Minegumo, Asagumo, Yukikaze, Tokitsukaze, Amatsukaze, Hatsukaze, Yamakaze, Kawakaze, Sazanami, and Ushio). Kapal-kapal perang Jepang ini bersenjata jauh lebih baik dari kapal-kapal Doorman. Mereka juga dalam keadaan fresh, tidak  seperti armada sekutu yang beberapa hari sebelumnya mengalami beberapa serangan udara.

Kedua armada bertemu pada pukul 4 sore. Kontak tembak pertama yang terjadi hanya memberikan kerusakan-kerusakan ringan pada kedua pihak sampai akhirnya, tidak lama setelah pukul 5 sore, sebuah proyektil menghantam ruang mesin HMS Exeter. HNMLS De Ruyter bermanuver untuk menghindari tabrakan dengan HMS Exeter, karena masalah komunikasi, kapal-kapal Doorman yang lain menyangka gerakan ini adalah perintah untuk membubarkan barisan tempur dan menyebar. Dalam kekacauan ini, HNMLS Kortenaer terhantam torpedo Jepang dan tenggelam.

Doorman berhasil melakukan reorganisasi dan memerintahkan HMS Exeter kembali ke Surabaya, dikawal oleh HNMLS Witte de With dan HMS Electra. Hanya saja, HMS Electra terlibat duel dengan dua perusak Jepang, Jintsu dan Asagumo. Setelah terjadi kebakaran hebat dan kehabisan amunisi, HMS Electra terpaksa ditinggalkan. Sementara HMS Exeter berusaha mencapai Surabaya, Doorman kembali menghadapi armada Jepang. Usahanya yang kedua ini tidak membuahkan hasil, bahkan pada pukul 9 malam 4 perusak Amerika Serikat terpaksa kembali ke pangkalan karena kehabisan bahan bakar dan amunisi, dan HMS Jupiter tidak sengaja menabrak ranjau pada pukul 10.

Tidak lama setelah HMS Jupiter menabrak ranjau, mereka melewati titik dimana HNMLS Kortenaer tenggelam. HMS Encounter diperintahkan untuk mengevakuasi orang-orang yang selamat. Armada yang sudah berkurang banyak kekuatannya ini kembali berhadapan dengan dengan armada Jepang pada pukul 11 malam. Sialnya, Armada Jepang lebih berpengalaman dalam pertempuran malam. HNMLS De Ruyter dan HNMLS Java terhajar torpedo dan tenggelam bersama Laksamana Doorman. 2 penjelajah yang tersisa akhirnya mengundurkan diri ke Tanjung Priok.

Pertempuran Laut Jawa, pertempuran laut permukaan terbesar setelah Pertempuran Jutland, bagai melepaskan badai kehancuran terhadap ABDACOM. USS Perth dan USS Houston yang selamat dari pertempuran akhirnya tenggelam di Selat Sunda, 24 jam kemudian. HMS Exeter dan pengawalnya dihajar Jepang di selatan Borneo. Kapal-kapal lain yang masih selamat, mengundurkan diri ke Australia. ABDACOM sendiri akhirnya bubar pada 1 maret 1942. Dan, Jawa pun terbuka tanpa pelindung. Kekuatan darat sekutu pun kucar-kacir dan pemerintah Hindia-Belanda akhirnya menyerah kepada Jepang.

Baca : Dalih Pembunuhan Massal

https://msvonkrueger.files.wordpress.com/2015/11/52acf-dalihpembunuhanmassal.jpg

fresh and stunned.

itulah kesan yang muncul setelah selesai membaca buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Meskipun beberapa fakta yang tertulis didalamnya sudah pernah muncul di berbagai sumber lain, penyajian yang ciamik membuat buku ini tidak membosankan.

Selama ini, jika saya membaca suatu buku yang mengupas peristiwa yang terjadi di tanggal 30 September 1965, biasanya berawal dan berakhir pada suatu tudingan. Entah menuding pada PKI, Soeharto, Soekarno, CIA. Tetapi Dalih Pembunuhan Massal ini bertutur seperti sebuah novel detektif…berbagai macam teori, fakta lapangan, spekulasi dijelaskan secara detail dan tidak berpihak.

Buku ini diawali dengan penggambaran apa saja yang terjadi selama gerakan tersebut terjadi, dan pembaca akan ditunjukkan beberapa keganjilan yang terjadi. Lalu penjelasan argumen dasar dan kelemahan dari beberapa teori pelaku gerakan. Tinjauan dari bukti-bukti yang ada dan sumber-sumber baru mengisi sebagian besar buku ini. Sebagai penutup, disajikanlah suatu hipotesa yang mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan diawal buku.

Salah satu daya tarik dari buku ini adalah analisa dokumen Supardjo, suatu analisis yang disusun oleh Brigjen Supardjo yang mengupas kekurangan-kekurangan gerakan dipandang dari sudut militer. Brigjen Supardjo sendiri merupakan perwakilan gerakan yang menemui Bung Karno pada pagi hari 1 Oktober 1965 untuk melaporkan gerakan dan meminta dukungan.

Penyajian berimbang, mengalir tanpa terlalu banyak bahasa njelimet membuat buku ini, meskipun topiknya cukup berat dan gelap, sangat menyenangkan dan mengenyangkan untuk dikonsumsi. 400an halaman hampir tidak terasa, dan buku ini, setelah dibaca, memberikan sedikit perasaan “craving” ingin baca lebih banyak buku lagi. Nice!

7 Dekade….and Beyond!

DKA - PNKA - PJKA - PERUMKA - PT KA - PT KAI
DKA – PNKA – PJKA – PERUMKA – PT KA – PT KAI

 

Bulan September 2015 ini, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) berulangtahun yang ke 70. Selamat! 70 tahun bukanlah waktu yang sebentar ataupun mudah. Perjalanan PT KAI pastilah ada naik turunnya, jatuh bangunnya, suka dukanya. Bagaimana sih perjalanan 7 dekade mereka?

/1/

Bicara soal sejarah PT KAI tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. KA mulai beroperasi di Indonesia sejak 10 Agustus 1867. Tetapi ide pengoperasian KA sendiri sudah ada sejak 1840. Ide ini dimunculkan untuk mengatasi kesulitan transportasi di Jawa, yang mengakibatkan hambatan ekonomi dan penerapan pertahanan dan keamanan (Hankam). Setelah dipertimbangkan, pada tahun 1842 pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan keputusan untuk membangun jalur KA dari Semarang menuju Yogyakarta. Keputusan ini keluar hanya berselang 3 tahun sejak KA pertama kali beroperasi di Belanda dan 12 tahun sejak dibukanya jalur KA pertama di Inggris. Cukup progresif, saya kira.

Hanya saja keputusan tadi hanya menjadi hitam diatas putih saja. Selain kesulitan-kesulitan teknis, ada perdebatan di kalangan pemerintah Kerajaan Belanda tentang keterlibatan swasta. Baru 10 tahun kemudian, 1852, pemerintah Kerajaan Belanda memperbolehkan pihak swasta terjun ke perkeretaapian di Jawa. Dan butuh 10 tahun debat dan diskusi (lagi) sampai akhirnya, suatu konsorsium yang dipimpin oleh Ir. J.P. Bordes, W. Poolman, A. Fraser, dan E.H. Kol berhasil mendapatkan izin pembangunan dan bantuan modal dari pemerintah. Konsorsium ini bernama Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, atau lebih kita kenal dengan NISM.

7 Juni 1864. Gubernur Jenderal Mr. L.A.J.W Baron Sloet van den Beele bepergian jauh ke desa Kemijen, Semarang. Ia datang dengan satu tujuan : melakukan pencangkulan tanah pertama pada upacara dimulainya pekerjaan pembangunan jalur KA pertama di Indonesia. Jalur ini berujung di desa Tanggung, dan membentang sepanjang 25 km. Saat jalur ini selesai dan dioperasikan pada tahun 1867, NISM kecele. Ternyata biaya yang keluar jauh lebih besar dari biaya yang ada. Belum lagi masyarakat belum mendukung adanya KA, sehingga investasi menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan pembangunan jalur lanjutan menuju Solo dan Yogyakarta sempat dihentikan sementara.

Bersamaan dengan pembangunan jalur KA di Jawa Tengah, pada tahun 1869 NISM memulai pembangunan jalur KA Batavia – Buitenzorg. Izin pembangunan sebenarnya telah diberikan sejak tahun 1864, tetapi karena hambatan teknis dan finansial pembangunannya menjadi terlambat. Kesulitan finansial yang dialami NISM hampir menghentikan pembangunan jalur-jalur KA di Jawa. Untungnya, bantuan modal tanpa bunga dari pemerintah dan uang muka pengangkutan hasil kebun dari para pengusaha perkebunan memungkinkan jalur Batavia – Buitenzorg dan Semarang – Yogyakarta dapat selesai 1873.

Setelah seluruh jalur KA beroperasi, NISM pun mulai mendapatkan keuntungan dan akhirnya mampu melunasi pinjaman pemerintah sebelum jatuh tempo. Pengusaha-pengusaha swasta yang lain pun mulai tertarik dan mendirikan perusahaan-perusahaan KA baru. Pemerintah juga mendirikan perusahaan KA milik negara, Staats Spoorwegen (SS). Jalur demi jalur pun saling bertaut, dan pada tahun 1913 ujung barat dan ujung timur Jawa telah terhubung dengan jalur KA.

Selain di Jawa, jalur KA juga dikembangkan di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Hanya saja, jalur KA di ketiga pulau tersebut belum sempat dikembangkan lebih jauh karena resesi ekonomi pada tahun 30an.

Perkembangan perkeretaapian memang melambat di era 30an, tetapi jika diteliti lebih lanjut, kondisi perkeretaapian di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu tidaklah terlalu tertinggal. Jalur KA sekitar Batavia selesai dielektrifikasi sekitar tahun 1930. KA ekspress dan KA cepat telah memiliki sistem penyejuk udara. Jakarta – Surabaya hanya 11,5 jam saja, dengan hanya menggunakan lokomotif uap. Bahkan pada jalur-jalur tertentu, KA mampu dipacu hingga melebihi 100 km/jam!

Sayangnya, The Golden Age of Trains ini tidak bertahan lama. Tahun 1941, direksi SS menyusun program peremajaan dan peningkatan sarana dan prasarana perkeretaapian. Belum sempat program tersebut dilaksanakan, Jepang keburu menggulung Hindia Belanda.

Beda zaman, beda aturan. Jalur KA di Sumatera disatukan pengelolaannya dengan jalur KA Malaya – Singapura. Seluruh perusahaan, baik SS maupun swasta, disatukan dengan kantor pusat di Bandung. Penomoran lokomotif pun diseragamkan dengan sistem yang digunakan di Jepang. Dan, belasan lintas dihapuskan dan dibongkar. Hasil pembongkaran litas-lintas tersebut digunakan untuk membangun beberapa jalur KA baru, baik di Indonesia atau daerah jajahan Jepang yang lain. Kemunduran dalam bidang sarana dan prasarana ini setidaknya terobati dengan pesatnya jumlah pribumi yang diikutsertakan dalam mengelola perkeretaapian.

/2/

Masa suram perkeretaapian dibawah Jepang tidak berlangsung lama. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. 17 Agustus 1945, proklamasi berkumandang. 2 hari setelah proklamasi, dibentuklah Dewan Pimpinan KA Bayangan yang siap mengambil alih perkeretaapian dari tangan Jepang.

Pada tanggal 26 September 1945, KNID Bandung mengeluarkan instruksi untuk mengambil alih badan-badan negara yang ada di Bandung. Pagi hari tanggal 28 Spetember, para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) menyemut di depan Balai Besar KA. Dipimpin oleh Ismangil, mereka mengumumkan pengambilalihan sarana dan prasarana KA dari tangan Jepang. Tanggal inilah yang dijadikan Hari Kereta Api. 2 hari kemudian, dibentuklah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) untuk kebutuhan operasional KA.

Meskipun DKARI telah berdiri sejak September 1945, tetapi pengangkatan pimpinannya secara resmi baru ditetapkan pada 23 Januari 1946. Ir. Djuanda Kartawidjaja (dikemudian hari menjadi Perdana Menteri RI dan menetapkan Deklarasi Djuanda) dipercaya sebagai pimpinan pertama DKARI. Meskipun situasi dan kondisi saat itu masih kacau, DKARI berusaha menjalankan perkeretaapian sebagaimana mestinya. Beberapa jalur KA yang dibongkar pada zaman Jepang berhasil dibangun kembali. DKARI juga membantu perjuangan kemerdekaan dengan menyalurkan senjata, obat-obatan dan bahan pangan. Beberapa kereta penumpang dimodifikasi menjadi unit operasi mobil Palang Merah Indonesia dan ditempatkan di Parungpanjang.

Pindahnya ibukota Republik ke Yogyakarta diikuti oleh mundurnya kantor pusat DKARI dari Bandung ke Yogyakarta. Perkeretaapian di daerah pendudukan NICA dikendalikan oleh Staatspoorwegen/Vereenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS). Setelah pengakuan kedaulatan, pada tanggal 1 Januari 1950 DKARI dan SS/VS disatukan menjadi Djawatan Kereta Api (DKA).

DKA segera bergerak cepat melakukan konsolidasi dan rehabilitasi. Yang menjadi masalah adalah kurangnya sarana dan hancurnya prasarana akibat perang kemerdekaan. Hal ini dijawab DKA dengan memprioritaskan perbaikan jalur-jalur vital yang terputus akibat perang, penyusunan kepegawaian dan keuangan, peningkatan persinyalan dan komunikasi, dll. Pada tahun 1953, setelah 23 tahun tidak ada lokomotif baru yang menjejak bumi Indonesia, didatangkanlah Lokomotif uap D52 terbaru dari Jepang. Setahun kemudian datang lokomotif diesel pertama di Indonesia, CC 200 buatan General Electric, Amerika Serikat.

22 Mei 1963, DKA diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Proses dieselisasi yang telah berjalan sejak tahun 1950an semakin digalakkan. Lokomotif-lokomotif diesel baru berdatangan, kebanyakan diproduksi di Jerman. Pada tahun 1964 rangkaian KA pertama yang menggunakan air conditioner dioperasikan. KA termewah pada masanya ini diberi nama Ekspress Biru Malam atau Ekspress Bima.

Langkah-langkah maju yang ditempuh PNKA ternyata terhalangi oleh beberapa kemunduran. Awal tahun 1962 50 trayek lokal ditutup karena dinilai tidak efisien lagi. Kemudian April 1963 beberapa KA ekspres dibatalkan karena kekurangan suku cadang dan bahan bakar. Kesulitan-kesulitan operasional ini diperparah dengan berantakannya sistem kepegawaian dan infiltrasi politik ke dalam tubuh PNKA.

Seiring dengan membaiknya keadaan negara, tingkat pelayanan PNKA pun kembali membaik. Tahun 1971, Status PNKA diubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Saat-saat perubahan status inilah terjadi penurunan pengguna KA. Hal ini disebabkan oleh persaingan moda transportasi jalan raya. Tidak hanya penumpang, angkutan barang pun ikut menurun. Beberapa jalur lintas, yang masih dilayani oleh lokomotif uap, ditutup.

Berakhirnya era lokomotif uap tidak serta-merta membuat PJKA kekurangan armada. Lokomotif-lokomotif diesel elektrik terbaru berdatangan. Lokomotif listrik tua yang melayani lintas Jabodetabek diganti dengan rangkaian KRL dari Jepang. Tetapi semua hal tersebut tidak mampu menahan kemunduran yang terjadi.

Akhir era 80an, kecelakaan KA terburuk di Indonesia terjadi. KA lokal 225 bertabrakan head-on dengan KA patas 220. Kecelakaan ini terjadi di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. 156 penumpang tewas sementara ratusan lainnya luka-luka. Kedua lokomotif yang bertabrakan hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi. Peristiwa ini membuat PJKA semakin terpuruk. Masyarakat mempertanyakan keamanan KA dan kepercayaan mereka terhadap KA, turun.

Tahun 1991 PJKA mengalami reorganisasi menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA). Selain perubahan nama dan logo, yang paling terlihat adalah berubahnya warna livery lokomotif dan kereta. Lokomotif berubah warna menjadi merah-biru, sementara kereta berganti livery dengan dasar biru tua dan warna strip horizontal yang berbeda untuk setiap kelas. Entah karena warna yang lebih segar dan logo yang aerodinamis, perkeretaapian Indonesia mengalami renaissance pada masa PERUMKA.

Beberapa tonggak sejarah yang terjadi pada masa PERUMKA adalah dioperasikannya jalur layang Manggarai – Jakarta Kota pada 1992. Jalur layang ini meniadakan perlintasan jalan raya dengan jalur KA, dengan tujuan menghilangkan kemacetan dan memperlancar perjalanan KA. Tonggak terpenting adalah diluncurkannya KA Argo generasi pertama pada 1995. KA Argo adalah kelas layanan tertinggi PERUMKA. KA Argo pertama yang diluncurkan adalah Argo Bromo (Gambir – Surabaya Pasarturi) dan Argo Gede (Gambir – Bandung). Rangkaian KA tersebut dibuat di PT INKA, Madiun dan dipasangkan dengan lokomotif terbaru saat itu, CC 203 hasil pengembangan General Electric Transportation, USA dan PT GE Lokomotif Indonesia.

Setelah reformasi, PERUMKA kembali berubah status. Kali ini menjadi PT Kereta Api Persero (PT KA). Hal-hal baik yang ada sejak zaman PERUMKA dipertahankan, hanya saja PT KA mengalami stagnansi. Persaingan dengan maskapai LCC (low cost carrier) dan dibukanya tol baru membuat PT KA harus melakukan penghapusan dan merger pada beberapa rute. Pelayanan yang hanya sedikit membaik dibanding zaman PERUMKA, bahkan PJKA, memperparah keadaan. Sampai akhirnya PT KA mengalami kerugian sebesar Rp 85 Miliar.

UU no 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian secara hukum mengakhiri monopoli PT KA dalam mengoperasikan KA di Indonesia. Perusahaan swasta dan perusahaan daerah dapat mengelola jasa angkutan KA, hanya saja sampai sekarang belum terlihat. Ditengah stagnansi, PT KA terus berusaha untuk maju. Divisi KRL Jabodetabek direorganisasi menjadi PT KAI Commuter Jakarta (PT KCJ). Tetapi dobrakan besar baru terjadi pada tahun 2009.

Setelah mengalami pergantian Dirut, PT KA mulai tancap gas. Stasiun-stasiun dirapikan, pedagang asongan ditertibkan. Sistem ticketing direvolusi, sehingga lebih mudah didapatkan dan secara tidak langsung mempersulit percaloan. Sarana dan prasarana diperbaharui. Aset-aset didata ulang dan dimanfaatkan kembali. Tahun 2010, PT KA berubah nama menjadi PT Kereta Api Indonesia persero (PT KAI). Selain PT KAI yang berbenah, pemerintah juga meluncurkan Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) dan membangun jalur double track di Pantura Jawa.

/3/

In my humble opinion, PT KAI is on the right track. Sebagai pengguna KA saya merasakan turun dan naiknya pelayanan PT KAI. Sekarang saya bisa merasakan AC, apapun KA yang saya naiki. Nggak ada lagi pedagang yang memaksa nyelip ditengah kepadatan kereta. Bahkan stasiun-stasiun kecil tengah sawah pun jadi lebih rapi dan tidak berkesan “seadanya”. Tentu saja bila dibandingkan dengan perkeretaapian luar negeri, kita masih sedikit dibelakang. Tapi lihat, sedikit. Saya yakin, dalam waktu yang tidak terlalu lama, perkeretaapian kita dapat secanggih, seaman, senyaman perkeretaapian di Eropa, Jepang, atau negara maju lainnya.

Masih banyak “PR” dan tantangan yang harus dihadapi. Jalur-jalur mati perlu ditinjau kembali,banyak jalur yang sebenarnya penting tetapi terkubur tidak aktif. Lintas-lintas utama perlu ditambah kapasitasnya karena jumlah perjalanan sekarang meningkat. Peningkatan kapasitas tentu harus dibarengi dengan peningkatan persinyalan dan traffic control. Pengembangan KA diluar Jawa juga perlu dijalankan. Lintas-lintas Sumatera dihubungkan, pembangunan jalur baru di Kalimantan,Sulawesi, Papua…barulah setelah semuanya berjalan dengan kapasitas dan potensi penuh, kita melangkah ke High Speed Train.

Saya yakin, kita semua mampu untuk mewujudkan lagi The Golden Age of Trains.

155437_1486075553615_909113_n

Dirgahayu PT Kereta Api Indonesia.

Nonton : The Motorcycle Diaries (2004)

The-Motorcycle-Diaries-007

Sebenernya udah lama denger tentang film ini, juga buku yang jadi inspirasi film ini. Tapi baru sekarang punya kesempatan buat nonton. The Motorcycle Diaries bercerita tentang Ernesto “Fuser” Guevara, seorang Argentina, mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang pergi berkeliling Amerika Selatan bareng sohibnya, Alberto “Mial” Granado. Kita mungkin kurang ngeh siapa itu Ernesto, tapi kita mungkin lebih kenal nama panggilannya setelah dia ikut berjuang bareng Fidel Castro di Kuba : Che Guevara.

Fuser dan Mial berkeliling Amerika Selatan naik motor. Jujur, daya tarik film ini bagi saya (selain Che Guevara) adalah motor yang dipake mereka berdua. Motor yang mereka gunakan adalah Norton. Di berbagai sumber sering disebut “Norton 500cc”. Masalahnya, tahun segitu Norton punya banyak model yang kapasitas mesinnya sama-sama 500cc. Setelah browsing sana-sini ketahuanlah kalau Norton yang dimaksud adalah Norton model 18 (masih bisa dibantah lho!).

La Poderosa, begitu mereka menyebut motor itu. Artinya ‘si perkasa’. Tapi kenyataannya, malah motor ini yang menyerah duluan. Adegan jatuh dan dorong motor bakal sering kita temukan di paruh pertama film ini. Selain kondisi motornya yang sejak awal sudah rada berantakan, saya jadi inget obrolan temen saya dulu. Katanya, Norton emang diisukan kurang reliable dibanding motor inggris lainnya.

Tapi kalo ada yang mau kasih Norton ke saya, saya sih ga akan nolak hahaha.

Tentu film ini ngga cuma menunjukkan Fuser dan Mial yang jatuh bangun dorong motor. Adegan yang berkesan adalah ketika Fuser dan Mial menjadi sukarelawan di San Pablo Leper Colony. Fuser dan Mial menolak memakai sarung tangan karet saat bertemu pasien, karena mereka tahu penyakit pasien sudah tidak menular. Mereka juga melewatkan kesehariannya ditengah para pasien. Bahkan pada malam terakhir mereka disana, Fuser nekat berenang menyebrangi sungai untuk melewati malam bersama para pasien.

Dari film ini kita bakal melihat bagaimana Fuser, seorang mahasiswa kedokteran bisa berubah menjadi Che, seorang revolusionis. Bagi saya, film ini benar-benar menyentuh dan inspiratif. TOP!

 

Hasta La Victoria Siempre!!

Review : Lomography Fisheye Baby

Sejak kenal dan bermain (lagi) dengan kamera analog, saya udah beberapa kali berganti kamera. Dari sekian banyak kamera tersebut, ada satu kamera yang unik sendiri, yaitu Lomography Fisheye Baby. Kenapa unik sendiri? karena dari semua kamera analog yang pernah saya punya, kamera ini doang yang pake film format 110 mm.

https://distilleryimage6-a.akamaihd.net/2e4bcb086f5a11e2b9a022000a1fa535_7.jpg

Awalnya bermula ketika Lomography meluncurkan film format 110 mm versi mereka. Karena kamera yang menggunakan format film ini udah sangat langka di pasaran, mereka juga meluncurkan kamera-kamera 110 baru. Kamera 110 yang pertama kali saya liat dan pegang adalah Diana Baby. Reaksi pertama saat liat? saya kira itu gantungan konci. Ternyata itu kamera – 100% berfungsi – dan ukurannya cuma sebesar telapak tangan. Cool!

Dan saya pun jadi tertarik sama kamera 110 ini. Tapi muncul pikiran “mumpung filmnya unik, kameranya harus yang punya hasil unik sekalian!”. Yes, hasil motret pake kamera Diana memang unik, tapi rasanya masih kurang. Seakan bisa baca pikiran saya, ga lama kemudian Lomography memperkenalkan kamera 110 terbaru mereka, Fisheye Baby. Tentu saya pun akhirnya beli. 😀

Kesan pertama saat pake kamera ini sama dengan kesan saat pertama melihat Diana Baby. buset, kecil banget. Tapi ini betul-betul poin plus. Untuk hunting foto yang sistemnya berjalan dari satu tempat ke tempat lain lanjut ke tempat lainnya, kamera ini betul-betul menyenangkan. Ga ribet, ga berat!

hasil fisheye baby
hasil fisheye baby

Masalahnya, ringannya kamera ini jadi masalah kalau mau digunakan untuk mode bulb…dan tidak ada senderan. Sestabil-stabilnya tangan, saya selalu dapet hasil goyang. Dan kamera ini kurang oke kalau dibawa ke tempat yang agak gelap, apalagi kalau gelap. Kondisi optimal buat pemakaian kamera ini adalah ketika hari cerah dan tidak banyak penghalang (pohon, gedung tinggi yang rapat) disekitar tempat berfoto.

Bagaimanapun, Lomography Fisheye Baby bagi saya merupakan kamera yang menyenangkan untuk dibawa kemana-mana, bahkan jadi bawaan sehari-hari.

 

Scientia Est Lux Lucis